ZAMAN BATU
zaman batu dimulai kurang lebih pda
tahun 590.000 SM. Peralatan yang digunakan oleh manusia pada zaman ini terbuat
dari batu sehingga disebut zaman batu. Selain itu diyakini juga menggunakan
kayu namun , karena bahan kayu yang mudah lapuk hingga prninggalan sejarahnya
tidak tersisa.
Zaman batu adalah suatu periode
ketika peralatan manusia secara dominan terbuat dari batu walaupun ada pula
alat-alat penunjang hidup manusia yang terbuat dari kayu ataupun bambu. Namun
alat-alat yang terbuat dari kayu atau tulang tersebut tidak meninggalkan bekas
sama sekali. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan tersebut tidak tahan lama.
Dalam zaman ini alat-alat yang dihasilkan masih sangat kasar (sederhana) karena
hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup saja. Zaman batu tua diperkirakan
berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu, yaitu selama masa pleistosen
(diluvium). Pada zaman paleolithikum ini, alat-alat yang mereka hasilkan masih
sangat kasar.
Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab
alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau
dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa
berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Manusia pendukung zaman ini
adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan
Homo Soloensis. Fosil-fosil ini ditemukan di sepanjang aliran sungai Bengawan
Solo. Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Kebudayaan Pacitan pada
tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan kapak genggam di
daerah Pacitan. Cara kerjanya digenggam dengan tangan. Kapak ini dikerjaan
dengan cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman
Paleolithikum dengan nama chopper. Alat ini ditemukan di Lapisan Trinil. Selain
di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan
Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).
A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropuspaleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di aliran sungai Bengawan Solo.
A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropuspaleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di aliran sungai Bengawan Solo.
2. Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan)
Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan manusia yang masih sangat sederhana. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum, yakni:
1. Hidup berpindah-pindah (Nomaden)
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
B. ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:
1. Kapak Genggam
Kapak
genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut
"chopper" (alat penetak/pemotong)
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan caramenggenggam. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
2. Kapak Perimbas
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan caramenggenggam. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
2. Kapak Perimbas
Kapak
perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata.
Manusia kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga ditemukan
di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra selatan), dan
Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan,
Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan Pacitan.
3. Alat-alat dari tulang binatang
atau tanduk rusa
Salah satu alat peninggalan zaman
paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang. Alat-alat dari tulang ini
termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat
penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk
mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa
digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.
4. Flakes
Flakes
yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan
untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti
alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk
berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan.
Pra Sejarah | Mesolithikum (Zaman
Batu Tengah)
Setelah pleistosen berganti dengan
holosen, kebudayaan paleolithikum tidak begitu saja lenyap melainkan mengalami
perkembangan selanjutnya. Di Indonesia, kebudayaan paleolithikum itu mendapat
pengaruh baru dengan mengalirnya arus kebudayaan baru dari daratan Asia ygna
membawa coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang timbul itu dinamakan Mesolithikum.
Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa ,
Kalimantan, Sulawesi dan di Flores. Dari peninggalan-peninggalan tersebut dapat
diketahui bahwa jaman itu manusia masih hidup dari berburu dan menangkap ikan
(Food-Gathering). Akan tetapi sebagian sudah mempunyai tempat tinggal tetap,
sehingga bisa dimungkinkan sudah bercocok tanam walau masih sangat sederhana
dan secara kecil-kecilan. Bekas-bekas tempat tinggal mereka ditemukan di
pinggir pantai (Kjokkenmoddinger) dan di dalam gua-gua (Abris Sous Roche).
Disitulah pula banyak didapatkan bekas-bekas kebudayaannya.
Penelitian di bukit kerang
menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper
(kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit
kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan
sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa
alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat
zaman paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari
zaman paleolithikum.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
- Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger
adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan
modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur.
Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan
siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil.
Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara
Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia
purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein
Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak
menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam
Palaeolithikum).
b.
Pebble (kapak genggam Sumatera =
Sumateralith)
Tahun
1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang
tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di
dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra
(Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra.
Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
c.
Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
d.
Pipisan
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga
ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan
selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk
menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah
diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
2. Kebudayaan Tulang dari Sampung
(Sampung Bone Culture)

3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
- Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)
Abris Sous
Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada
zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan
binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr.
Van Stein Callenfelstahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo
Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat
dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah
yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk
rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak
adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone
Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan
Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum.
Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan
Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini
dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris
Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya
ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di
goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz
Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap
sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk
itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala.
Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung
sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,
Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap
goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan
ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
B.
KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan ini ditemukan dalam
gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera
Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu
giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua
dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok
dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat
mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan
ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari
Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari
garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan
bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di
Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:
- Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
2.
Kebudayaan flakes yang datang ke
Indonesia melalui jalur timur.
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.
C. KEBUDAYAAN TOALA
- Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-kenangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.
Ada dikatakan bahwa neolithikum itu
adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan
besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban penghidupan food-gathering
menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal bercocok tanam dan
berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan
hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian
hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka
untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan
sesudah itu ditinggalkan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A.CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A.CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
1. Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
2. Kapak Persegi
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi
bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern
atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium.
Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan
kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai
cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan
fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya
pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
3. Kapak Lonjong
Sebagian
besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk
keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip
menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk
itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
7. Tembikar (Periuk belanga)
Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya
barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari
bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa
pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa
pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar. Di Melolo, Sumba
banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.
Pra Sejarah | Megalithikum
(Zaman Batu besar)
(mega berarti besar dan lithikum atau lithos
berarti batu) disebut juga zaman batu besar. Mereka menganggap tanah merupakan
salah satu usur penting kehidupan . oleh karena itu, mereka hidup denagn
bercocok tanam.mereka telah banyak berkembang, pada zaman ini manusia mulai
menguasai alam, mulai mempercayai adanya kehidupan setelah kematian yang
kemudian mempengaruhi pola fikir. Munculah tradisi megalithikum yautu membuat
banguanan dari batu besar. Hasil budayanya berupa bangunan-bangunan besar yang
berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada roh nenek moyang. Kebudayaan ini
berlangsung hingga zaman logam, bahkan sampai saat ini kita masih dapat
menjumpai di berbagai daerah di indonesia sebagai sisa-sisa tradisi budaya
Megalitikum. Adapun hasil budaya Megalitikum ini meliputi: menhir, batu
berundak, dolmen, kubur batu, sarkofagus, waruga, serta berbagai jenis arca
berukuran besar.
1. Menhir
Menhir adalah tugu
atau batu yang tegak, yang sengaja di tempatkan di suatu tempat untuk
memperingati orang yang sudah meninggal. Batu tegak ini berupa media
penghormatan dan sekaligus lambang bagi orang-orang yang sudah meninggal
tersebut.
Menhir adalah batu
yang serupa dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari periode Neolitikum
yang umum ditemukan di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan Italia.
Batu-batu ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan ukurannya. Mega dalam
bahasa Yunani artinya besardan lith berarti batu.
Para arkeolog mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk tujuan religius dan
memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang.
2. Punden berundak
Punden berundak
merupakan bangunan yang di susun secara bertingkat-tingkat yang di maksudkan
untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang, bangunan ini kemudian
menjadi konsep dasar bangunan candi pada masa hindu-buddha.
Struktur dasar punden
berundak ditemukan pada situs-situs purbakala dari periode kebudayaan
Megalit-Neolitikum pra-Hindu-Buddha masyarakat Austronesia, meskipun ternyata
juga dipakai pada bangunan-bangunan dari periode selanjutnya, bahkan sampai
periode Islam masuk di Nusantara. Persebarannya tercatat di kawasan Nusantara
sampai Polinesia, meskipun di kawasan Polinesia tidak selalu berupa undakan,
dalam struktur yang dikenal sebagai marae oleh orang Maori. Masuknya
agama-agama dari luar sempat melunturkan praktik pembuatan punden berundak pada
beberapa tempat di Nusantara, tetapi terdapat petunjuk adanya adopsi unsur asli
ini pada bangunan-bangunan dari periode sejarah berikutnya, seperti terlihat
pada Candi Borobudur, Candi Ceto, dan Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram di
Imogiri.
3. Kubur batu
Bentuknya mirip
seperti bangunan kuburan seperti yang dapat kita lihat saat ini, umumnya
tersusun dari batu yang terdiri dari dua sisi panjang dan dua sisi lebar.
Sebagian besar kubur batu yang di temukan terletak membujur dari arah timur ke
barat.
Pada masa prasejarah
ketika kebudayaan Megalitikum berkembang bahwa kubur batu merupakan salah satu
dari jenis peninggalan batu-batu besar (megalit). Sedangkan sesuai dengan
namanya fungsi dari kubur batu sendiri sebagai tempat penguburan (stonecists)
bagi orang-orang yang dihormati di lingkungan masyarakat yang hidup pada masa
megalit. Kubur batu ini sudah dilakukan pengamanan dengan cara diberi pagar
keliling yang terbuat dari kayu dengan ukuran panjang 5,50 meter dan lebar 5
meter. Sedang bagian atas di beri cungkup seng dengan tiang penyangga dari kayu
dan pondasi semen.
4. Sarkofagus
Sejenis kubur batu
tetapi memiliki tutup di atasnya, biasanya antara wadah dan tutup berukuran
sama. Pada dinding muka sarkofagus biasanya diberi ukiran manusia atau binatang
yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Sarkofagus sering
disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus seringkali diukir, dihias dan
dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri, sebagai
bagian dari sebuah makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain
dimaksudkan untuk disimpan di ruang bawah tanah. Di Mesir kuno, sarkofagus
merupakan lapisan perlindungan bagi mumi keluarga kerajaan dan kadang-kadang
dipahat dengan alabaster
5. Dolmen
Dolmen merupakan
bangunan megalithik yang memiliki banyak bentuk dan fungsi, sebagai pelinggih
roh atau tempat sesaji pada saat upacara. Dolmen biasanya di letakan di
tempat-tempat yang dianggap keramat, atau di tempat pelaksanaan upacara yang
ada hubungannya dengan pemujaan kepada roh leluhur.
Dolmen adalah sebuah
meja yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan
saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan
mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki
mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Hal ini menunjukan
kalau masyarakat pada masa itu meyakini akan adanya sebuah hubungan antara yang
sudah meninggal dengan yang masih hidup, mereka percaya bahwa apabila terjadi
hubungan yang baik akan menghasilkan keharmonisan dan keselarasan bagi kedua
belah pihak.
6. Arca batu
Arca batu banyak di
temukan di beberapa tempat di wilayah indonesia, diantaranya pasemah, Sumatra
Selatan dan Sulawesi Tenggara. Bentuknya dapat menyerupai binatang atau manusia
dengan ciri Negrito. Di Pasemah ditemukan arca yang dinamakan Batu Gajah, yaitu
sebongkah batu besar berbentuk bulat diatasnya terdapat pahatan wajah manusia
yang mungkin merupakan perwujudan dari nenek moyang yang menjadi objek
pemujaan.
Dalam agama Hindu,
arca adalah sama dengan Murti (Dewanagari: मूर्ति), atau murthi, yang merujuk kepada citra yang menggambarkan Roh
atau Jiwa Ketuhanan (murta). Berarti “penubuhan”, murti adalah
perwujudan aspek ketuhanan (dewa-dewi), biasanya terbuat dari batu, kayu, atau
logam, yang berfungsi sebagai sarana dan sasaran konsentrasi kepada Tuhan dalam
pemujaan. Menurut kepercayaan Hindu, murti pantas dipuja sebagai fokus pemujaan
kepada Tuhan setelah roh suci dipanggil dan bersemayam didalamnya dengan tujuan
memberikan persembahan atau sesaji. Perwujudan dewa atau dewi, baik sikap
tubuh, atribut, atau proporsinya harus mengacu kepada tradisi keagamaan yang
bersangkutan.
7. Waruga

Waruga adalah kubur
batu yang tidak memiliki tutup, waruga banyak ditemukan di situs Gilimanuk,
Bali.
Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang
Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas
berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang
bagian tengahnya ada ruang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar