KUSNO!
Soekarno adalah seorang founding father dan
proklamator yang kepopuleran, charisma, serta pengaruh pemikiran idiologisnya
di Indonesia hingga saat ini belum tertandingi. Sejak muda ia tampil dengan
pemikiran dan gagasan besar yang kadang penuh dengan kontoversial namun tetap
dipegang teguh selama hidupnya.
Soekarno dilahirkan pada saat fajar
di era kebangkitan dan pergerakan
nasional. Tepatnya pada Kamis Pon tanggal 18 Sapar 1831 tahun Saka, bertepatan
pada tangal 6 Juni 1901 di Lawang Nyoman Ray[1]. Soekarno kecil sering
dipanggil Kusno oleh orang tuanya, namun ketika sakit maka ketika berumur 11
tahun, namanya diubah menjadi Soekarno dan memindahkannya ke Tulung Agung untuk
obati sakitnya bersama sang kakek. Ayah Sorkarno yang merupakan penganut
theosofi jawa dan ibunya seorang penganut Hindu Bali tentu saja sangat
mempengaruhi pemikiran Soekarno kecil. Tidak hanya keluarga dekatnya saja,
Sarinah pembantu rumahtangganya pun ikut mempengaruhi Soekarno untuk mencintai
rakyat jelata. Sejak kecil Soekarno didampingi orang-orang hebat yang mampu
mempengaruhi pikirannya.[2]
Salahsatu hal yang menempatkan Soekarno dalam
masyarakat adalah pendidikannya. Pendidikan formal pertama kalinya adalah
Sekolah Desa di Tulung Agung, setelah itu ke Sekolah Angka Dua di Sidoarjo dan
melanjutkan ke ELS (Europaeese lagere School) di Mojokerto. Disekolahnya ini,
soekarno snagat rajin belajar dan menjadi siswa terpandai. Setelah itu, ia
melanjutkan ke HBS (Hogare Burger
School) di Surabaya yang merupakan sekolah yang sulit dimasuki seorang
Inlander. Di Surabaya, Soekarno menetep di rumah H.O.S Tjokroaminoto dan Istrinya. Diamana merupakan pasangan yang
sangat disiplin dalam mendidik anak asuhnya. Tak ada waktu yang disia-siakan Soekarno.
Dia asik menyelam dari buku ke buku. Menyerap semua pemikiran orang hebat.
Contonya pemikiran Thomas Jefferson yang berbicara tentang declaration Of
Independence yang ditulis pada tahun 1776. Selain itu, yang paling penting
ialah pemikiran politik Tjokroaminoto sendiri yang banyak mempengaruhi
Soekarno. Hal tersebut membuat Soekarno bergerak dalam bidang politik dengan
membuat “Trikoro Darmo” dengan tiga tujuan suci yang melambangkan Keperdekaan
politik, sosial dan Ekonomi.[3]
Disamping aktif dalam organisasi
pelajar, Soekarno juga mengikuti kegiatan SI dan sisi aktif politiknya mulai
terlihat pada saat ikut terlibat dalam perubahan Jong Jave menjadi Jong
Indonesia dan Organisasi Kepanduan di Bandung.[4]
Aktivitasnya secara Kreatif dan
menonjol dimulai pada saat menulis artikel berjudul “Nasionalisme, Islam dan
Marxisme”. Saat itu Soekarno berasa dalam masa pencarian Idealisme. Untuk
merealisasikan tulisannya itu, Soekarno bukan hanya terlibat dalam dialog-dialog
Ideologis , bahkan mendirikan partai yang bernama PNI (Partai Nasional
Indonesia) pada tahun 1927. Setelah berkembangnya nama PNI, Soekarno mulai
mendirikan PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang
diikuti oleh perwakilan SI, PNI, Budi Utomo, Pasudan, Sumatranen Bond, Kaum
Betawi dan Kelompok Studi Indonesia. Namun setelah itu, muncul konflik kembali
yang menyebabkan Soekarno ditahan di Belanda. Semasa tahannanya, PNI siubah
oleh Sartono menjadi PARTINDO yang menyebabkan perpecahan dan dibangunnya PNI
baru. Setelah bebas Soekarno aktif kembali dalam PNI dan menimbulkan konflik
baru.[5]
Dalam masa pembangunan, Soekarno aktif
mempelajari Studi tentang Islam bahkan ia aktif dalam organisasi islam Modern,
Muhammadiyah. Puncak dialog ideologis terjadi pada masa penjajahan jepang saat
mendekati kemerdekaan Indonesia.wakil-wakil kelompok berkumpul dalam BPUPKI (
Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam merumuskan UUD dan
ideologi bangsa.dan berakhir pada disepakatinya PIAGAM JAKARTA dan akhirnya
ideology bangsa ditetapkan ialah Pancasila sesuai dengan pidato Soekano pada
tangal 1 Juni.
Siapa yang tidak tahu pristiwa Rengasdengklok
dimana Soekarno dan Hatta diculik sebagai perwakilah kelompok tua untuk
menetapkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Yang selanjutnya berakhir
dnegan prostiwa proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dan
diangkatnya Soekarno sebagai Bapak Presiden 1 Indonesia dan Hatta sebagai
wakilnya.
Tapi sebagai Negara baru tentusaja perjalanannya
tidk akan mudah, mucul banyak gangguan dalam pemerintahan Soekarno. Gangguan
dari luar berupa gangguan dari Inggris dan Belanda sedangkan gangguan dari
dalam berasal dari PKI Madiun, DI/TII , PRRI-Permesta, RMS dan lain-lain. Hal
ini disebabkan karena perbedaaan pendapat dan keinginan untuk menguasai dan
pelaksanaan Kostitusi dan Ideologi bangsa yang masih mencari identitas. Hal
tersebut dilihat seringnya Indonesia mengganti konstitusinya, yaitu: UUD 1945,
RIS1945, UUDS.
Berbeda dengan masa sebelum kemerdekaan yang
konflik diakhiri dengan kesepakatan, konflik diakhiri oleh Dekrit Presiden 1959
hal tersebut menambah banyak konflik, bahkan Hatta menyebutnya sebagai krisis
demokrasai. Berlanjut hingga meletusnya G30S yang menyebabkan hilangnya jabatan
Soekarno sebagai Presiden.
Herbert Feith membagi masa kepemimpinan Soekarano
menjadi 3 periode :
1.
Periode Revolusi Fisik
(1945-1949)
Tema pokok dalam periode ini ialah hal-hal yang
bersifat mencari landasan perjuangan bersama untuk melawan musuh bersama.
Perbedaan masih diredupkan untuk menjaga kebersamaan dalam melawan musuh.
2.
Periode Demokrasi Liberal (1950-
19 59)
Dalam periode ini konflik antar partai yang
berbeda ideology mewarnai Indonesia, kaabinet tidak ada yang berumur panjang
dan sebagainya. Hal ini diakhiri oleh Dekrit Presiden 1959
3.
Periode Demokrasi Terpimpin
(1959-1965)
Demokrasi terpimpin ialah suaru cara bekerja yang
melakukan suatu program pembangunan dengan suatu tindakan yang kuar dibawah
datu pemimpin sedangkan DPR hanay memberikan dasar hokum. Dimasa ini Soekarno
kembali menyuarakan NASAAKOM, dengan ini berbagai pemikiran rakyat Indonesia
dapat bersatu di bawah satu payung.
Dapat dilihat dari perjalanan hidup Soekarno,
bahwa ia adalah seorang patriot yang cinta tanah air dan ingin melihat
Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya. Beliau adalah seorang pemimpin
yang begitu cerdas dan memiliki pemikiran yang unik seperti terlihat tingkah
soekarno dalam mengawinkan aliran-aliran ideologis. Beliau bukan tidak
mengetahui adanya prinsip yang terkandung didalamnya yang tidak dapat
disatukan, namun ia memelihat masing-masing aliran mampu saling mengisi
satu-sama lain. Hal itulah yang mendorong terciptanya konsep NASAKOM,
MARHAENISME, PANCASILA, SOSIALISME INDONESIA dan sebagainya. Sayangnya di akhir
masa jabatannya, beliau membawa bangsa Indonesia lebih mendekat ke blok
komunis, dimana akhirnya ada pihak yang pro dan kontra yang mengakibatkan
terjadinya gesekan hebat berujung kudeta penggulingan dirinya. Dalam pidatonya
ia mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang kiri yang
tak mungkin dekelok-kelokan ke kanan.
Kronologis jatuhnya kekuasaan Soekarno ialah
bermula dari Supesemar yaitu pengalihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat antar Soekarno dan Soehaarto. Pada
tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya
antara lain: KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA
TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa
konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan
Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden
Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada
Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan
jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966
melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa
perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin
Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan
revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa
tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan
Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.” Pengumuman ini
ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1967 oleh Presiden Republik
Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno. Selanjutnya pada
tanggala 23 Februari 1967
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS
No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio Republik Indonesia. Sianya antara
lain, memberi penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada
dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR mengeluarkan
Resolusi No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta
penjelasan terhadap resolusi tersebut. Diakhiri pada tanggal 7 Maret 1967 dimana MPRS mengadakan sidang
istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS itu dilakukan,
Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua MPRS,
tidak seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain
(seperti dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut
Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai
Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.[6] Selain itu juga
memerintahkan Bung Karno untuk segera meninggalkan Istana Bogor dalam waktu 2 x
24 jam. Bung Karno lantas pindah ke Wisma Yaso.
Dalam buku 'Hari-hari Terakhir Sukarno' karya
Peter Kasenda dan buku 'Kejayaan Dan Saat-saat Terakhir Bung Karno' karya
Soewarto mengisahkan kondisi mengenaskan Bung Karno saat tidak lagi menjabat
sebagai Presiden RI. Saat itu Bung Karno yang tengah sakit parah harus
menjalani interogasi Kopkamtib (Komando Pemulihan dan Keamanan). Setelah sakit
Bung Karno semakin parah barulah Soeharto memerintahkan penghentian interogasi.
Namun, ini tak lantas menandai siksaan Soekarno berakhir. Tapi puncaknya pada 16 Juni 1970 sampailah Sukarno pada titik
nadir pertahanannya. Bung Karno jatuh koma dan tak berdaya.
Di rumah sakit , Hatta menemui
soekarno yang tegolek lamah namun telah sadar dari komanya. Terjadilah dialaog antara dua
sahabat itu
“Bagaimana
keadaanmu, No?" kata Hatta sembari berusaha menyembunyikan hatinya yang
hancur melihat kondisi sahabatnya itu.
“Hou
gaat het met jou..?” (Bagaimana keadaanmu?). Sukarno balik bertanya,
mengingatkan saat-saat perjuangan mereka. Sambil memaksakan diri untuk tersenyum,
Hatta meraih tangan Sukarno. Berjabat tangan dan kemudian menangis bersama
mengenang masa-masa dulu mereka bersama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sehari setelah pertemuan dengan Bung Hatta
kondisi Sukarno menjadi semakin buruk. Matanya sudah tak lagi mampu terbuka.
Suhu badannya terus meninggi. Sukarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal
dan piyamanya. Malamnya Dewi Sukarno dan puterinya yang masih berusia tiga
tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Sukarno belum pernah sekali pun melihat
anaknya itu.
Minggu pagi 21 Juni 1970, dokter Mardjono, salah
seorang anggota tim dokter kepresidenan melakukan pemeriksaan rutin. Dengan
sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Sukarno.
Dengan
sisa kekuatan yang masih ada, Sukarno menggerakkan tangan kanannya, memegang
lengan dokternya. dr. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah itu. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Begitu
hening dan mencekam. Sukarno menghembuskan nafasnya yang terakhir.[7]
[1]
Solishin Salam, Bung Karno Putera Fajar,Gunung
Agung, Jakarta. 1982, hal.18
[2]
Cindy Adams,Bung Karno Penyumbang Lidah
Rakyat Indonesia, Gunung Agung, Jakarta 1982, Hal 35
[3]
Cindy Adams, Op.Cit, hal 57
[4]
Panitia, Laporan Kongres Pemuda Indonesia
Pertama Weltevreden 1926,CV.Takari, Jakarta, 1921 hal 42.
[5]
H.Rosihan Anwar, “Perbedaan Analaisa politik antara Soekahrno dana Hatta” dalam
William H. Frederick san Soekri Soeroto(ed) Pemahaman
Sejarah Indonesia sebelum dan sesudah revolusi, LP3ES, Jakarta, 1982, Hal
443